Minggu, 07 April 2013
Sengketa Sipadan dan Ligitan
Sengketa Sipadan
dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia
dan Malaysia
atas pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat
Makassar yaitu pulau Sipadan (luas: 50.000 meter²) dengan
koordinat: 4°6′52.86″N 118°37′43.52″E
dan pulau Ligitan
(luas: 18.000 meter²) dengan koordinat: 4°9′N 118°53′E.
Sikap Indonesia
semula ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN namun akhirnya
sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur hukum Mahkamah Internasional.
A. Kronologi sengketa
Persengketaan
antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam
pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata
memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya.
Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan
dalam keadaan status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini
berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak
swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di
bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia
mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh
ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai.
karena kita taat pada hukum internasional yang melarang mengunjungi daerah
status quo, ketika anggota kita pulang dari sana membawa laporan, malah
dimarahi. Sedangkan Malaysia malah membangun resort di sana SIPADAN dan Ligitan
tiba-tiba menjadi berita, awal bulan lalu. Ini, gara-gara di dua pulau kecil
yang terletak di Laut Sulawesi itu dibangun cottage. Di atas Sipadan, pulau
yang luasnya hanya 4 km2 itu, kini, siap menanti wisatawan. Pengusaha Malaysia
telah menambah jumlah penginapan menjadi hampir 20 buah. Dari jumlahnya,
fasilitas pariwisata itu memang belum bisa disebut memadai. Tapi pemerintah
Indonesia, yang juga merasa memiliki pulau-pulau itu, segera mengirim protes ke
Kuala Lumpur, minta agar pembangunan di sana disetop dahulu. Alasannya, Sipadan
dan Ligitan itu masih dalam sengketa, belum diputus siapa pemiliknya. Pada
tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke
dalam peta nasionalnya
Pada tahun 1976, Traktat
Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and
Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini antara lain
menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan
perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak
Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura
untuk klaim pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan
Sabah
dengan Filipina serta sengketa kepulauan Spratley di Laut Cina
Selatan dengan Brunei
Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan
sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran semua warga negara
Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau.
Setelah
hampir 30 tahun, perundingan tiba pada jalan buntu, karena baik Indonesia yang
bertahan pada posisi dan argumentasi bahwa kedua pulau tersebut telah menjadi
bagian wilayahnya sejak masa penjajahan Belanda, maupun Malaysia yang juga
meyakini kedaulatannya atas pulau-pulau tersebut sejak masa colonial Inggris,
tetap bertahan pada posisi masing-masing. Pada 1997 kedua belah pihak sepakat
menempuh jalan hukum yaitu dengan menyerahkan sengketa tersebut kepada Mahkamah
Internasional.
Sikap pihak
Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN dan selalu
menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak. Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpur
pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto
akhirnya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh
Mensesneg Moerdiono
dan Wakil PM Anwar Ibrahim, dibuatkan kesepakatan
"Final and Binding," pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara
menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada tanggal 29
Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula Malaysia
meratifikasi pada 19 November 1997.
Secara rinci tentang kronologi kasus
Sipadan dan Ligitan dapat di lihat pada tabel di bawah ini :
Tahun
|
Peristiwa
|
1969
|
Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan muncul pertama kali pada perundingan
mengenai batas landas kontinen antara RI dan Malaysia di Kuala Lumpur (9-12
September 1969). Hasil Kesepakatan: kedua pihak agar menahan diri untuk tidak
melakukan kegiatan-kegiatan yang menyangkut kedua pulau itu sampai
penyelesaian sengketa.
|
1970
|
Malaysia melakukan tindakan sepihak dengan menerbitkan peta yang
memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam wilayah nasionalnya, dan beberapa
tahun kemudian melakukan pembangunan dan pengelolaan fasilitas-fasilitas
wisata di kedua pulau itu.
|
1989
|
Pembahasan sengketa oleh Presiden RI Soeharto dan PM Malaysia Mahathir
Muhammad di Yogyakarta, tahun 1989. Hasil kesimpulan: sengketa mengenai kedua
pulau tersebut sulit untuk diselesaikan dalam kerangka perundingan bilateral.
|
1997
|
Kedua pihak sepakat untuk mengajukan penyelesaian sengketa tersebut ke
Mahkamah Internasional dengan menandatangani dokumen "Special
Agreement for the Submission to the International Court of Justice on the
Dispute between Indonesian and Malaysia concerning the Sovereignty over Pulau
Ligitan and Pulau Sipadan" di Kuala Lumpur pada tanggal 31 Mei 1997.
|
1998
|
Pada tanggal 2 November 1998, kesepakatan khusus yang telah
ditandatangani itu kemudian secara resmi disampaikan kepada Mahkamah
Internasional, melalui suatu "joint letter" atau notifikasi
bersama.
|
2000
|
Proses argumentasi tertulis ("written pleadings") dari
kedua belah pihak dianggap rampung pada akhir Maret 2000 di Mahkamah
Internasional. Argumentasi tertulis itu terdiri atas penyampaian "memorial",
"counter memorial", dan "reply" ke Mahkamah
Internasional.
|
2002
|
Proses penyelesaian sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan di Mahkamah
Internasional memasuki tahap akhir, yaitu proses argumentasi lisan ("oral
hearing"), yang berlangsung dari tanggal 3-12 Juni 2002. Pada
kesempatan itu, Menlu Hassan Wirajuda selaku pemegang kuasa hukum RI,
menyampaikan argumentasi lisannya ("agent’s speech"), yang
kemudian diikuti oleh presentasi argumentasi yuridis yang disampaikan Tim
Pengacara RI. Mahkamah Internasional kemudian menyatakan bahwa keputusan
akhir atas sengketa tersebut akan ditetapkan pada Desember 2002.
|
Pada tanggal 17 Desember 2002, Mahkamah Internasional di Den Haag
menetapkan Pulau Sipadan dan Ligitan menjadi bagian dari wilayah kedaulatan
Kerajaan Malaysia atas dasar “efektivitas” karena Malaysia telah melakukan
upaya administrasi dan pengelolaan konservasi alam di kedua pulau tersebut.
|
B. Keputusan Mahkamah Internasional
Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ, kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia.
Hasilnya, dalam
voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1
orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim
tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi
dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan
pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan
teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris
(penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa
penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap
pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar
sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak
menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian
kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan
batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.
C. Landasan Keputusan Mahkamah Internasional
Sehingga Memenangkan Malaysia
Kemenangan
Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa
memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim),
yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan
administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa
burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan
operasi mercu suar sejak 1960-an.Hal ini membuktikan adanya kehendak dan
tindakan menjalankan fungsi negara, yang memenuhi fungsi effectivities.
D. Kekalahan dan Letak Kesalahan Indonesia Mengenai
Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan
Kekalahan Indonesia di Sipadan dan Ligitan (sebelah
utara Ambalat) adalah karena Indonesia tidak bisa menunjukkan bukti bahwa
Belanda (penjajah Indonesia) telah memiliki kedua pulau itu; sementara Malaysia
bisa menunjukkan bukti bahwa Inggris (penjajah Malaysia) memiliki dan mengelola
kedua pulau itu. Dalam Hukum Internasional dikenal istilah "Uti Possidetis
Juris" yang artinya negara baru akan memiliki wilayah atau batas wilayah
yang sama dengan bekas penjajahnya. Dalam sengketa Sipadan-Ligitan, Indonesia
dan Malaysia bersepakat istilah "warisan penjajah" itu berlaku untuk
wilayah-wilayah yang dikuasai sebelum tahun 1969. Jadi Mahkamah Internasional
memenangkan Malaysia saat itu bukan karena Malaysia pada tahun 1990-an telah
membangun resort di kedua pulau itu; tetapi karena Inggris sebelum tahun 1969
telah menununjukkan penguasaan yang efektif atas kedua pulau itu berupa
pungutan pajak atas pemungutan telur penyu, operasi mercu suar, dan aturan
perlindngan satwa.
Sebenarnya
pemerintah Indonesia dengan para diplomatnya telah berusaha untuk mendapatkan
hak atas kedua pulau itu. Dengan segala cara mereka kerahkan,mulai dari
Diplomasi dan perundingan setiap tahun-nya,tetapi Indonesia dan Malaysia juga
tidak dapat mencari titik temu dan kesepakatan dalam Sipadan dan Ligitan.sesuai
dengan Piagam ASEAN,di mana negara-negara anggota ASEAN dalam menyelesaikan
suatu permasalahan harus di tempuh nya itikad baik dan damai (Perjanjian ASEAN
24 februari 1976 di BALI). Apabila tidak menemukan kesepakatan, setiap anggota
ASEAN wajib membawa kasus mereka ke PBB dan putusan Mahkamah Internasional
adalah final dan tidak dapat di ganggu gugat.
Lebih dari
itu,sebenarnya Mahkamah Internasional sudah mengetahui kalau Belanda adalah
pemilik pulau itu dahulunya. Tetapi, belanda tidak pernah melakukan tindakan
yang nyata apapun di Pulau itu. Justru sebaliknya Inggris-lah yang banyak
melakukan pembangunan dan invasi di kedua pulau itu. Kemudian, Mahkamah
Internasional menolak pembelaan dan argumen Indonesia yang bersandar pada
konvensi 1891. Argumen ini hanya mengatur batasan wilayah di Kalimantan (darat)
tidak di perairan. Jauh dari pada itu Konvensi 1891, hanya menarik 3 mil dari
titik pantai (kalau sekarang 12 mil) dan penarikan 3 mil itu tidak sampai ke
sipadan dan Ligitan.
Dan terakhir
Indonesia kalah di Faktor Occupation (pendudukan). Intinya masyarakat yang
tinggal di pulau tersebut banyak bergantung pada transpotasi dan bantuan
ekonomi dari Malaysia bertahun-tahun. Sarana hiburan seperti pemancar radio,
telepon, dan televisi juga berasal dari Malaysia selama bertahu-tahun).
Dari
pernyataan diatas yang menjadi penyebab utama kekalahan Indonesia adalah
Indonesia kurang memiliki data dan bukti historis yang dapat menunjukan bahwa
Belanda juga memiliki kehendak dan tindakan menjalankan fungsi negara yang
malahan lebih kuat dari Inggris pada masanya.
Lebih dari itu,sebenarnya Mahkamah Internasional sudah mengetahui kalau
Belanda adalah pemilik pulau itu dahulunya. Tetapi, belanda tidak pernah
melakukan tindakan yang nyata apapun di Pulau itu. Justru sebaliknya
Inggris-lah yang banyak melakukan pembangunan dan invasi di kedua pulau itu.
Kemudian, Mahkamah Internasional menolak pembelaan dan argumen Indonesia yang
bersandar pada konvensi 1891. Argumen ini hanya mengatur batasan wilayah di
Kalimantan (darat) tidak di perairan. Jauh dari pada itu Konvensi 1891, hanya
menarik 3 mil dari titik pantai (kalau sekarang 12 mil) dan penarikan 3 mil itu
tidak sampai ke sipadan dan Ligitan.
Dengan
memperhatikan posisi dan letak Sipadan dan Ligitan serta ambisi
strategis/ekonomis Belanda adalah sulit dibayangkan kalau Belanda tidak
melakukan kegiatan pengawasan dan pemanfaatan kedua pulau tersebut pada waktu
itu. Disamping itu, nampaknya Indonesia memang agak mengabaikan Sipadan dan
Ligitan. Sebelum 1969 barangkali karena Indonesia tidak menyadari keberadaan
posisi kedua pulau itu, atau mungkin juga karena terlalu banyak persoalan yang
dihadapi. Tetapi sesudah tahun 1969 pada saat mulai muncul sengketa klaim,
meskipun disepakati status quo atas Sipadan dan Ligitan, justru Malaysia tetap
melanjutkan kegiatannya berupa penangkapan ikan, pariwisata, dan kehadiran
penduduk yang terus meningkat.
E.
KESIMPULAN
Bila
kita melihat kebelakang tentang upaya-upaya Indonesia yang telah dilakukan
sejak tahun 1960-an untuk menyelesaikan sengketa pulau Sipadan Ligitan, maka
sebenarnya upaya-upaya tersebut cukup intensif, namun masih terdapat berbagai
kekurangan-kekurangan, antara lain :
Ø Sejak terbentuk negara kesatuan Republik Indonesia
pada 1945, Indonesia tidak pemah melakukan aktivitas ekonomi di pulau Sipadan
dan Ligitan, jadi Indonesia tidak ada upaya dalam pengelolaan sumberdaya yang
terdapat pada pulau Sipadan dan Ligitan. Sebaliknya Malaysia sejah tahun
1980-an telah menjadikan pulau Sipadan dan Ligitan sebagai pulau wisata bahari.
Ø Undang-Undang Nomor 4/Prp/1960 tentang Perairan
Indonesia terdapat "Ke-alpaan" para penyusun Undang-Undang tersebut
yaitu dengan tidak mencantumkan pulau Sipadan dan Ligitan dalam wilayah
kedaulatan negara kepulauan Indonesia. Demikian juga dengan penetapan PP No. 6
tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang sekaligus menggantikan UU No.4 / Prp
/1960 tidak mencantumkan daftar koordinat titik dasar wilayah kepulauan
Indonesia, PP hanya dilampiri peta Ikhtisar wilayah yuridiksi kepulauan
Indonesia.
Ø Sistem pengarsipan Indonesia terhadap dokumen-dokumen
sejarah, khususnya menyangkut dokumen wilayah perbatasan yang ada sejak tahun
1900-an sangat lemah, sehingga saat dokumen - dokumen dibutuhkan kita harus ke
negara tertentu misalnya Belanda dan Inggris untuk menelusurinya. Hal ini
membutuhkan waktu dan biaya yang besar dan belum tentu negara bersangkutan
"mau memberikan secara ikhlas" data dan peta-peta dimaksud.
Ø Pengelolaan pulau-pulau kecil yang terletak di wilayah
perbatasan belum mendapatkan perhatian yang memadai dari pemerintah pusat,
khususnya aspek ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan sehingga
beberapa pulau kecil diperbatasan secara bebas didatangi orang asing bahkan
mereka berinteraksi dan menetap di pulau-pulau tersebut.
Ø Mengoptimalkan upaya penyelesaian masalah perbatasan
dengan 9 negara tetangga, melalui sinergis instansi terkait, sehingga
pembangunan dan pengembangan wilayah perbatasan dapat dilaksanakan secara
komprehensif.
Waah,, satu lagi nih hak Indonesia yang diambil atau terambil ya oleh Malaysia ? Kalo ada 'HAK' pasti ada 'KEWAJIBAN' dong ! Kewajiban kita sebagai penerus bangsa, tentu tetap menjaga warisan yang masih tersisa untuk kita rawat .. Yuk ! Jaga warisan itu ;)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar